BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Islam merupakan agama yang sangat komplek. Sehingga dalam
memahaminya pun dibutuhkan cara-cara atau metode-metode yang tepat agar
tercapai suatu pemahaman yang utuh tentang islam. Di indonesia sejak islam
masuk pertama kali sampai saat ini telah timbul berbagai macam pemahaman yang
berbeda mengenai islam. Sehingga dibutuhkanlah tata-tata cara atau
metode-metode untuk memahami islam dengan benar agar tidak terjadi salah
pengertian.
Memahami islam secara menyeluruh sangat penting. Apabila islam
dipelajari sebagian saja dari semua ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran,
dan dalam bidang-bidang masalah khilafiyah, maka tentu pemahaman tentang islam
yang sangat minim tersebut dapat menimbulkan salah pengertian. Lebih dari itu,
dalam diri seseorang tersebut mungkin akan timbul keraguan atau kebimbangan
terhadap islam. Pemahaman seperti inilah yang ditakutkan akan membawa akibat
yang sangat fatal.
Untuk menghindari bahaya pengenalan semacam ini, islam harus
dipelajari secara menyeluruh. Kemungkinan seseorang tidak mampu atau tidak ada
waktu untuk mempelajari islam secara menyeluruh, maka cukup dengan mengetahui
dan memahami prinsip-prinsip islam serta mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari itu sudah cukup. Islam adalah agama yang universal dan dapat
diterima oleh segala macam tingkatan intelek manusia.
Maka, dalam makalah ini penulis akan mencoba membahas mengenai
metodologi atau cara-cara serta beberapa hal yang berkaitan untuk memahami
islam.
1.2. Rumusan masalah
Dari latar belakang
tersebut, pemakalah merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut :
1. Ruang lingkup studi islam dalam bidang sosial
2.
Ruang lingkup studi islam
dalam bidang kehidupan ekonomi
3.
Ruang lingkup studi islam
dalam bidang kesehatan
4.
Ruang lingkup studi islam
dalam bidang politik
5.
Ruang lingkup studi islam
dalam bidang pekerjaan
1.3. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan
khusus penulis dapat menyelsaikan tugas mata kuliah yang bersangkutan dan
tujuan umum agar pembaca dapat mengetahui tentang ruang lingkup studi islam
dalam bidang : bidang sosial, bidang kehidupan ekonomi, bidang kesehatan,
bidang politik dan bidang pekerjaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Dalam Bidang
Sosial
Selanjutnya karakteristik ajaran
Islam dapat dilihat dari ajarannya di bidang sosial. Ajaran Islam di bidang
sosial ini termasuk yang paling menonjol, karena seluruh bidang ajaran Islam
sebagaimana telah disebutkan di atas pada akhirnya ditujukan untuk
kesejahteraan manusia. Namun khusus dalam bidang sosial ini, Islam menjunjung
tinggi tolong-menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran,
kesetiakawanan, egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa dan kebersamaan.
Ukuran ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh
nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan lain
sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan ketinggian derajat seseorang
ditentukan oleh ketakwaannya yang ditunjukkan oleh prestasi kerjanya yang
bermanfaat bagi manusia. Atas dasar ukuran ini, maka dalam Islam semua orang
memiliki kesempatan yang sama. Mobilitas vertikal dalam arti yang sesungguhnya
ada dalam Islam, sementara sistem kelas yang menghambat mobilitas sosial
tersebut tidak diakui keberadaannya. Seseorang yang berprestasi sungguhpun
berasal dari kalangan bawah, tetap dihargai dan dapat meningkat kedudukannya
serta mendapat hak-hak sesuai dengan prestasi yang dicapainya.
Menurut penelitian yang dilakukan
Jalaluddin Rahmat, Islam ternyata agama yang menekankan urusan muamalah lebih
besar daripada urusan ibadah. Islam ternyata banyak memperhatikan aspek
kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual. Islam adalah agama yang
menjadikan seluruh bumi ini masjid, tempat mengabdi kepada Allah. Mu’amalah
jauh lebih luas daripada ibadah (dalam arti khusus). Hal demikian dapat kita
lihat misalnya bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan sosial yang
penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (diqashar atau dijamak
dan bukan ditinggalkan). Dalam hadits Rasulullah SAW, mengingatkan imam supaya
memperpendek shalatnya, bila di tengah jama’ah ada yang sakit, orang lemah,
orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan. Istri Rasulullah SAW; Siti
Aisyah mengisahkan: Rasulullah SAW shalat di rumah, dan pintu terkunci. Lalu
aku datang (dalam riwayat lain, aku minta dibukakan pintu), maka Rasulullah SAW
berjalan membuka pintu, kemudian kembali ke tempat shalatnya. Hadits ini
diriwayatkan oleh 5 orang perawi, kecuali Ibnu Majah.
Selanjutnya Islam menilai bahwa
ibadah yang dilakukan secara berjama’ah atau bersama-sama dengan orang lain
nilainya lebih tinggi daripada shalat yang dilakukan secara perorangan, dengan
perbandingan 1:27 derajat.
Pada Islam itu menilai bila urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan
tertentu, maka kifarat (tebusannya) adalah dengan melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan urusan sosial. Bila puasa tidak mampu dilakukan karena sakit
yang menahun dan sulit diharapkan kesembuhannya, maka boleh diganti dengan fidyah
(tebusan) dalam bentuk memberi makanan bagi orang miskin. Sebaliknya, bila
orang tidak baik dalam urusan mu’amalah, urusan ibadahnya tidak dapat
menutupnya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan
shalat tahajud. Orang yang berbuat dzalim tidak akan hilang dosanya dengan
membaca dzikir 1000 kali. Bahkan dari beberapa keterangan, kita mendapatkan
kesan bahwa ibadah ritual tidak diterima Allah bila pelakunya melanggar
norma-norma mu’amalah (Jalaluddin Rahmat, 1991:51).
2.2. Dalam
bidang Kehidupan Ekonomi
Karakteristik ajaran Islam
selanjutnya dapat dipahami dalam konsepsinya dalam bidang kehidupan. Islam memandang bahwa
kehidupan yang harus dilakukan manusia adalah hidup yang seimbang dan tidak
terpisahkan antara urusan dunia dan akhirat.
Urusan dunia dikejar dalam rangka mengejar kehidupan akhirat, dan
kehidupan akhirat dicapai dengan urusan dunia. Kita membaca hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak yang
artinya: “bukanlah termasuk orang baik di antara kamu adalah orang
yang meninggalkan dunia karena mengejar kehidupan akhirat, dan orang yang meninggalkan akhirat karena
mengejar kehidupan dunia”. Orang yang baik adalah orang yang dapat meraih
keduanya secara seimbang, karena dunia adalah
alat menuju akhirat, dan jangan dibalik yakni akhirat dikorbankan untuk
urusan dunia. Pandangan Islam mengenai
kehidupan demikian itu, secara tidak langsung menolak kehidupan yang bercorak
sekularistik, yaitu kehidupan yang memisahkan antara urusan dunia dengan urusan
agama. Agama harus terlibat dalam mengatur kehidupan dunia.
Dalam kaitan ini, maka perlu
dimiliki pandangan kosmologis yang didasarkan pada pandangan teologi yang
benar. Dalam teologi Islam, bahwa alam raya dengan segala isinya sebagai ladang
untuk mencari kehidupan adalah sesuatu yang suci dalam arti tidak haram untuk
dimanfaatkan. Alam raya ini sesuatu yang diciptakan Tuhan untuk dimanfaatkan
manusia, dan bukan sekali-kali untuk dijadikan objek penyembahan sebagaimana
dijumpai pada masyarakat primitif. Alam raya dengan segala keindahannya adalah
ciptaan Tuhan. Kita tahu bahwa di alam raya ini dijumpai berbagai keajaiban dan
kekaguman. Misalnya di taman atau di kebun kita menyaksikan aneka ragam tanaman
dan buah-buahan, padahal ditanam di tempat yang sama, tetapi buah dari tanaman
itu beraneka ragam. Ketika kita menyaksikan yang demikian itu, kita tidak
menganggapnya sebagai Tuhan. Yang dianggap Tuhan adalah Allah yang menciptakan
seluruh alam ini. Ketika kita menyaksikan keindahan dan kekaguman itu, kita dianjurkan
mengucapkan subhanallah, Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua
itu. Dengan cara demikian selain keimanan kita bertambah mantap, juga akan
merasakan manfaat atas segala ciptaan Tuhan itu. Dari keadaan demikian, maka ia
akan memanfaatkan kehidupan dunia ini untuk beribadah kepada Allah SWT.
2.3. Dalam
bidang Kesehatan
Ciri
khas ajaran Islam selanjutnya dapat dilihat dalam konsepnya mengenai kesehatan.
Ajaran Islam tentang kesehatan berpedoman pada prinsip pencegahan lebih
diutamakan daripada penyembuhan. Dalam bahasa Arab, prinsip ini berbunyi, al-wiqoyah
khair min al-’ilaj. Berkenaan dengan kontek kesehatan ini ditemukan sekian
banyak petunjuk kitab suci dan sunnah Nabi SAW yang pada dasarnya mengarah pada
upaya pencegahan. Untuk menuju kepada upaya pencegahan tersebut, maka Islam
menekankan segi kebersihan lahir dan batin. Kebersihan lahir dapat mengambil
bentuk kebersihan tempat tinggal, lingkungan sekitar, badan, pakaian, makanan,
minuman dan lain sebagainya.
2.4. Dalam
bidang Politik
Ciri ajaran Islam selanjutnya dapat
diketahui melalui konsepsinya dalam bidang politik. Dalam Alquran surah
al-Maidah ayat 8 isyarat perintah adil dan jujur, dalam Alquran surah al-Nisa’
ayat 59 terdapat perintah mentaati ulil amri yang terjemahannya termasuk
penguasa di bidang politik, pemerintahan dan negara yang harus adil dan jujur.
Dalam hal ini Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam
menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang didasarkan pada tolak
ukur kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin tersebut berpegang teguh kepada
tuntutan Allah dan Rasulnya maka wajib ditaati. Sebaliknya jika pemimpin tersebut
bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul-Nya, maka boleh dikritik atau
diberi saran agar kembali ke jalan yang benar dengan cara-cara yang persuasif. Dan
jika cara tersebut juga tidak dihiraukan oleh pimpinan tersebut, maka boleh saja
untuk tidak diikuti. Masalah politik ini selanjutnya berhubungan dengan bentuk
pemerintahan. Dalam sejarah dikenal berbagai bentuk pemerintahan seperti
republik yang dipimpin oleh presiden, kerajaan yang dipimpin raja, dan
sebagainya. Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu. Oleh karenanya
setiap bangsa boleh saja menentukan bentuk negara masing-masing sesuai
keadaannya. Namun yang terpenting bentuk pemerintahan tersebut harus digunakan
sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keamanan,
kedamaian dan ketentraman masyarakat (Munawir Sadzali, 1992).
2.5. Dalam
bidang Pekerjaan
Karakteristik ajaran Islam dalam
bidang pekerjaan dapat dilihat dari ajarannya mengenai kerja. Islam memandang
bahwa kerja merupakan ibadah kepada Allah SWT. Atas dasar ini maka kerja yang
dikehendaki Islam adalah kerja yang bermutu, terarah pada pengabdian terhadap
Allah SWT. Dan kerja yang bermanfaat bagi orang lain. Untuk itu Islam tidak
menekankan pada banyaknya pekerjaan, tetapi pada kualitas manfaat kerja. Kita
misalnya membaca ayat Alquran yang artinya: Dialah yang menjadikan mati dan
hidup supaya Dia menguji kamu siapa di antara kamu yang paling baik amalnya (QS.
al-Mulk, 67:2). Ayat tersebut dengan tegas menyatakan siapakah yang paling baik
amalnya, dan bukan yang paling banyak amalnya. Selain itu amal tersebut juga
harus bermanfaat bagi orang lain. Nabi Muhammad SAW mengingatkan kepada
umatnya, bahwa orang yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang
lain. Untuk menghasilkan produk pekerjaan yang bermutu, maka Islam memandang kerja
yang dilakukan adalah kerja yang profesional, yaitu kerja yang didukung ilmu pengetahuan,
keahlian, pengalaman, kesungguhan dan seterusnya. Suatu pekerjaan yang
diserahkan bukan pada ahlinya, menurut haduts Nabi tunggulah kehancurannya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
1.
Ruang lingkup
secara terminologi adalah bagian variabel-variabel yang diteliti, populasi atau
subjek penelitian, dan lokasi penelitian. Penggambaran
ruang lingkup dapat kita nilai dari karakteristik responden perlu dilakukan
untuk memperoleh gambaran yang komprehensif.
2.
Arti dan lingkup
studi Islam. Arti yaitu secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan agama Islam. Sedangkan ruang
lingkup studi Islam meliputi:
a.
Sebagai doktrin
dari tuhan yang sebenarnya bagi para pemeluknya sudah final dalam arti
absolute, dan diterima apa adanya.
b.
Sebagai gejala
budaya, yang berarti seluruh yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan
agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.
c. Sebagai interaksi sosial, yaitu realitas umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Sahrodi,Jamali.2008.Metodologi Studi Islam.Bandung: Pustaka Setia.
Nata,Abuddin.2000.Metodologi Studi Islam.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Muhyar ,Fanani,2008.Metode Studi Islam: Pustaka Pelajar.Yogyakarta.
Ruang Lingkup Studi Islam
Bottom of Form
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Saat ini kehadiran pada da’i semakin
dituntut untuk ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi umat manusia. Para da’i tidak boleh hanya menjadi lambang
kesalehan atau berhenti sekadar menyampaikan pesan-pesan agama dalam khutbah,
melainkan secara konsepsional para da’i dituntut mampu memecahkan berbagai
persoalan dan dinamika hidup yang terjadi dalam masyarakat luas.
Meminjam istilah Achmad Satori Ismail,
bahwa tidak mungkin mengamalkan Islam secara komprehensif kalau seorang da’i
tidak memiliki ilmu keislaman yang luas. Oleh sebab itu, seorang da’i harus
memiliki ilmu terlebih dahulu tentang keislaman- termasuk memiliki ilmu tentang
al-Qur’an, hadits, usul fiqh, dan lain-lain.
Tuntutan terhadap agama yang demikian
itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan
pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan
pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban
terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan pemikiran di atas,
maka pada tulisan ini pembaca akan diajak untuk mengkaji berbagai pendekatan
yang dapat digunakan dalam memahami agama. Hal demikian perlu dilakukan, karena
melalui pendekatan tersebut, kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan
oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut,
tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat, tidak fungsional,
dan akhirnya masyarakat mencari pemecahan masalah kepada selain agama, dan hal
ini tidak boleh terjadi.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi
pendekatan teologis, normatif, antropologis, sosiologis, fenomenologis,
filosofis, historis, politis, psikologis, dan interdisipliner. Adapun yang
dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas
keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka
paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu
penelitian ilmu sosial, penelitian legalistik atau penelitian filosofis.
Sedangkan menurut Parsudi Suparlan,
dalam dunia ilmu pengetahuan makna dari istilah pendekatan adalah sama dengan
metodologi, yaitu sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan sesuatu
yang menjadi perhatian atau masalah yang dikaji. Bersamaan dengan itu, makna
metodologi juga mencakup berbagai teknik yang digunakan untuk melakukan
penelitian atau pengumpulan data sesuai dengan cara melihat dan memperlakukan
masalah yang dikaji. Dengan demikian, pengertian pendekatan atau metodologi
bukan hanya diartikan sebagai sudut pandang atau cara melihat sesuatu
permasalahan yang menjadi perhatian tetapi juga mencakup pengertian
metode-metode atau teknik-teknik penelitian yang sesuai dengan pendekatan
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan
Teologis
Dalam kamus
Inggris Indonesia, kata theology diartikan ilmu agama.sedangkan
menurut Harun Nasution teologi adalah ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar
dari suatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara
mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan
pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diumbang-ambing oleh peredaran zaman.
Pendekatan teologis dalam memahami
agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang bertolak dari satu keyakinan bahwa
wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan
dengan lainnya. Sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak teologi pasti
mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen,
dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni
bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang
melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang
partikularistik, maka dengan mudah kita dapat menemukan teologi
Kristen-Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya. Dan jika
diteliti lebih mendalam lagi, dalam intern umat beragama tertentu pun masih
dapat dijumpai berbagai paham atau sekte keagamaan. Menurut informasi yang
diberikan The Encyclopedia of American Religion, di Amerika Serikat saja
terdapat 1200 sekte keagamaan. Satu di antaranya adalah sekte Davidian yang
pada bulan April 1993 pemimpin sekte Davidian bersama 80 orang pengikut
fanatiknya melakukan bunuh diri massal setelah berselisih dengan kekuasaan
pemerintah Amerikat. Dalam Islam sendiri, secara tradisional, dapat dijumpai
teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
B. Pendekatan
Normatif
Kata normatif berasal dari bahasa
Inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan tentang
masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh
dilakukan.Dalam hubungan ini kata norma erat hubungannya dengan akhlak, yaitu
perbuatan yang muncul dengan mudah dari kesadaran jiwa yang bersih dan
dilakukan atas kemauan sendiri, bukan berpura-pura dan bukan pula paksaan.
Selanjutnya karena akhlak, merupakan inti dari agama, bahkan inti ajaran
al-Qur’an, maka norma sering diartikan pula agama. karena agama tersebut
berasal dari Allah, dan sesuatu yang berasal dari Allah pasti benar adanya,
maka norma tersebut juga diyakini pasti benar adanya, tidak boleh dilanggar,
dan wajib dilaksanakan.
Pendekatan normatif adalah pendekatan
yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang
didalamnya belum terdapat pemikiran manusia. Dalam pendekatan normatif ini
agama dilihat sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan yang di dalamnya
belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam kaitan ini agama tampil
sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam misalnya,
secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial,
agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan,
tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya.
Sedangkan untuk bidang ekonomi agama
tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan.
Untuk bidang ilmu pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki
ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan,
keahlian, dan sebagainya. Demikian pula untuk bidang kesehatan, lingkungan
hidup, kebudayaan, politik, dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang
dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang
bersangkutan.
C. Pendekatan
Antropologis
Kata Antropologi berasal dari bahasa
Yunani, anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan
logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana, Antropologi dapat dikatakan
sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Tentunya kita akan semakin
bertanya-tanya, begitu banyak ilmu yang mempelajari manusia.
Lalu, apa sebenarnya yang dipelajari Antropologi? Menurut
William A. Haviland, seorang antropolog Amerika, Antropologi adalah ilmu yang
pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya. Dengan mempelajari kedua hal tersebut, Antropologi
adalah studi yang berusaha menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan
dan persamaan dalam aneka ragam kebudayaan manusia.
Koentjaraningrat, bapak Antropologi
Indonesia, mendukung definisi Antropologi yang diberikan oleh Haviland. la
menyatakan bahwa Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada
umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta
kebudayaan yang dihasilkannya.]Sedangkan
menurut The Wold Book Encyclopedia International, antropologi memiliki
makna;
“Antropology is the scientific study of humanity and of
human culture. Antropologist investigate the strategies for living that are
learned and shared by people as members of social groups. These scientists
examine the characteristics that human beings share as members of one species
and the diverse ways that people live in different environment. They also
analyse the products of social groups- material objects and less material
creations, such as beliefs and values.”]
Berbagai penelitian antropologi agama
dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi
ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin
pada umumnya, lebih tertarik, kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat
mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan
orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah
mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx
(1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu
masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik
atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa
disalah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan satus quo
peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama
kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi
positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern.
Etika protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri
modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh
Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawam, yakni semacam
percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji
dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang
Yahudi kelahiran Paris, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism
menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau
sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
Melalui pendekatan antropologis di
atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan
perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin
mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan
cara mengubah pandangan keagamaannya.
Selanjutnya, melalui pendekatan
antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme social
organization juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti
sosial keagamaan. Kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The
Religion of Java, dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz
melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa, antara
santri, priyayi dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa
Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun
konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir
ulang untuk mengecek keabsahannya.
Kritik Terhadap Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami
agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara
melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang
dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan
kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam
melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam
kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya
partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang
mengimbangi pendekatan deduktif.
Ajaran Islam
dalam melihat manusia berbeda dengan pendekatan antropologi. Ajaran Islam dalam
menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi ini, bahwa eksistensimanusia tidak
berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Pencipta.
Selain itu, agama Islam juga memposisikan manusia sebagai pengatur (khalifah)
di muka bumi. Sedangkan antropologi dalam melihat manusia dan agama hanya
sebatas sebagai bagian dari fenomena kebudayaan yang tidak terkait dengan
kekuatan di luar dirinya.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya yang berkelanjutan bagi
sarjana-sarjana muslim untuk memperkaya pendekatan antropologi ini dengan
memasukkan ajaran-ajaran islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, guna
meluruskan temuan-temuan pendekatan antropologi dengan ilmu keislaman.
D. Pendekatan
Sosiologis
Definisi sosiologi secara luas ialah
ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi
seperti itu disebut macro-sociology, yaitu ilmu tentang gejala-gejala
sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Secara
sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau
dari kecendrungan individu dengan individu lain dengan memperhatikan
simbol-simbol interaksi.Sedangkan
menurut The Wold Book Encyclopedia International, sosiologi memiliki
makna;
“Sociology is the study of the individuals, groups, and
institutions that make up human society. The field of sociology covers an
extremely broad range that includes every aspect for human
social conditions. Sociologists observe and record how people relate to one
another and to their environments. They also study the formation of groups; the
causes of various forms of social behaviour; dan the role of churches, schools,
and other institutions within a society. Sociology is a social science and is
closely related to anthropolgy, psychology, and other social sciences.”
Pada dasarnya sosiologi dapat dipahami
sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan sosial manusia dalam tata kehidupan
bersama. Ilmu ini memusatkan telaahnya pada kehidupan kelompok dan tingkah laku
sosial lengkap dengan produk kehidupannya. Sosiologi tidak tertarik pada
masalah-masalah yang sifatnya kecil, pribadi, dan unik. Sebaliknya, ia tertarik
pada masalah-masalah yang sifatnya besar dan substansial serta dalam konteks
budaya yang lebih luas.
Penerapan pendekatan sosiologis Islami
di antaranya misalnya bagaimana implementasi syariah dalam masyarakat Islam.
Dengan catatan bahwa peneliti harur menjauhi sikap purbasangka negatif. Cukup
banyak negara muslim yang bisa dijadikan sample dalam penelitian ini,
antara lain Malaysia, Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, dan Mesir. Yang
dimunculkan dalam penelitian ini bukan segi-segi yang bersifat konflik antara
hukum Islam dan masyarakat, melainkan justru segi-segi positifnya.
Kritik Terhadap Pendekatan Sosiologis
Hasil penelitian bidang sosiologi agama
bisa saja berbeda dengan agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci.
Sosiologi agama bukan mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama,
tetapi yang dikaji adalah bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh
pemeluknya. Dalam kaitan ini, dapat terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab
suci berbeda dengan apa yang ada dalam kenyataan empirik. Para sosiolog membuat
kesimpulan tentang agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat.
Jika suatu pemeluk agama terbelakang
dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan, kebersihan, dan lain
sebagainya. Kaum sosiolog terkadang menyimpulkan bahwa agama dimaksud merupakan
agama untuk orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan ini mungkin akan
mengagetkan kaum tekstual yang melihat agama sebagaimana yang terdapat dalam
kitab suci yang memang diakui ideal.
E. Pendekatan
Fenomenologis
Kata
fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon yaitu sesuatu yang
tampak, yang terlihat karena bercakupan. Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai
istilah gejala. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan
fenomenon, atau segala sesuatu yang menampakkan diri.
Tokoh
fenomenologi adalah Edmund Husserl (1859-1938), ia adalah pendiri fenomenologi
yang berpendapat bahwa ada kebenaran untuk semua orang, dan manusia dapat
mencapainya.Adapun inti pemikiran
fenomenologi menurut Husserl adalah bawah untuk menemukan pemikiran yang benar,
seseorang harus kembali kepada “benda-benda” sendiri. Dalam bentuk slogan
pendirian ini mengungkapkan dengan kalimat zu den sachen (to the things). Kembali kepada
“benda-benda” dimaksudkan adalah bahwa “benda-benda” diberi kesempatan untuk
berbicara tentang hakikat dirinya. Pernyataan tentang hakikat “benda-benda”
tidak lagi bergantung kepada orang yang membuat pernyataan, melainkan
ditentukan oleh “benda-benda” itu sendiri.
Akan tetapi,
“benda-benda” tidaklah secara langsung memperlihatkan hakikat dirinya. Apa yang
kita temui pada “benda-benda” itu dalam pemikiran biasa bukanlah hakikat.
Hakikat benda itu ada di balik yang kelihatan itu. Karena pemikiran pertama (first
look) tidak membuka tabir yang menutupi hakikat, maka diperlukan pemikiran
kedua (second look). Alat yang digunakan untuk menemukan hakikat pada
pemikiran kedua ini adalah intuisi. Istilah yang digunakan Husserl menunjukkan
penggunaan intuisi dalam menemukan hakikat adalah Wesenschau (melihat
secara intuitif) hakikat gejala-gejala.
Dalam usaha
melihat hakikat dengan intuisi, Husserl memperkenalkan pendekatan reduksi. Yang
dimaksud reduksi dalam hal ini adalah penundaan segala pengetahuan yang tentang
objek sebelum pengamatan intuitif dilakukan. Reduksi juga dapat diartikan
penyaringan atau pengecilan. Istilah lain yang digunakan Husserl adalah epoche
yang artinya sebagai penempatan sesuatu di antara dua kurung. Namun yang
dimaksud ialah “melupakan pengertian-pengertian tentang objek untuk sementara
dan berusaha melihat objek secara langsung dengan intuisi tanpa bantuan
pengertian-pengertian yang ada sebelumnya. Reduksi ini adalah
salah satu prinsip yang mendasari sikap fenomenologis. Untuk mengetahui
sesuatu, seorang fenomenologis bersikap netral, tidak menggunakan teori-teori
atau pengertian-pengertian yang telah ada dalam hal ini diberi kesempatan
“berbicara tentang dirinya sendiri.”
Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl
dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada
verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia.
Fenomoenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi
orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.]
Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk
mengungkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti. Yang ditekankan oleh kaum
fenomenologis adalah aspek subjektif dari perilaku orang. Mereka berusaha untuk
masuk kedalam dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa
sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan
oleh mereka di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari. Para
fenomenolog percaya bahwa pada makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk
menginterpretasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa
pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan.
Ada pelbagai cabang penelitian
kualitatif, namun semua berpendapat sama tentang tujuan pengertian subyek penelitian, yaitu melihatnya dari “sudut pandang mereka”.
Jika ditelaah secara teliti, frase “dari segi pandang mereka” menjadi
persoalan. Persoalannya adalah “dari segi pandang mereka” bukanlah merupakan
ekspresi yang digunakan oleh subyek itu sendiri dan belum tentu mewakili cara
mereka berpikir. “Dari segi pandangan mereka” adalah cara peneliti
menggunakannya sebagai pendekatan dalam pekerjaannya. Jadi, “dari segi
pandangan mereka” merupakan konstrak penelitian. Melihat subyek dari segi ini
hasilnya barangkali akan memaksa subyek tersebut mengalami dunia yang asing
baginya.Sebenarnya upaya mengganggu dunia subyek oleh peneliti bagaimanapun
perlu dalam penelitian. Jika tidak, peneliti akan membuat tafsiran dan harus
mempunyai kerangka konsep untuk menafsirkannya. Peneliti kualitatif percaya
bahwa mendekati orang dengan tujuan mencoba memahami pandangan mereka dapat
menghalangi pengalaman subyek. Bagi peneliti kualitatif terdapat perbedaan
dalam (1) Derajat mengatasi masalah metodologis/konseptual ini dan (2) cara
mengatasinya. Sebagian peneliti mencoba melakukan “deskripsi fenomenologis
murni”. Di pihak lain, peneliti lainnya kurang memperdulikan dan berusaha
membentuk abstraksi dengan jalan menafsirkan data berdasarkan “segi pandangan
mereka”. Apapun posisi seorang peneliti, yang jelas ia harus menyadari
persoalan teoretis dan isu metodologis ini.
Peneliti kualitatif cenderung berorientasi fenomenologis, namun sebagian
besar diantaranya tidak radikal, tetapi idealis pandangannya. Mereka memberi
tekanan pada segi subjektif, tetapi mereka tidak perlu menolak kenyataan adanya
“di tempat sana”, artinya mereka tidak perlu mendesak atau bertentangan dengan
pandangan orang yang mampu menolak tindakan itu. Sebagai gambaran diberikan
contoh, misalnya guru mungkin percaya bahwa ia mampu menembus dinding bata,
tetapi untuk mencapainya memerlukan pemikiran. Hakikatnya, batu itu keras
ditembus, namun guru itu tidak perlu merasakan bahwa ia tidak mampu berjalan
menembus dinding itu. Peneliti kulaitatif menekankan berpikir subyektif karena,
sebagai yang mereka lihat, dunia di dominasi oleh subyek yang kurang keras
dbandingkan dengan batu. Manusia kurang lebih sama dengan ‘mesin kecil’ yang
dapat melakukan sesuatu. Kita hidup dalam imajinasi kita, lebih banyak berlatar
simbolik daripada konkret.]
Sedangkan kaitannya dengan agama, fenomenologi merupakan sebuah gerakan
pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba memahami
manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk fenomena
keagamaan. Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari fenomenologi
agama diantaranya :
1. Fenomenologi agama berorientasi
pada faktual deskriptif, dimana tidak concern pada penilaian evaluatif
akan tetapi mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan
seperti ritual, simbol, ibadah (individual maupun seremonial), teologi (lisan
atau tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2. Tidak berusaha menjelaskan
fenomena yang dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk
memprediksikan persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk
mencari pemahaman yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3. Perbandingan dalam pengertian
terbatas dimana mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi
tidak berusaha menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan
tertentu.
4. Menghindari reduksionisme, dalam
arti murni memahami fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi,
antropologi dan ekonomi saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman
manusia, memaksakan nilai-nilai sosial pada isu-isu transendental dan mengabaikan
intensionalitas unik para pelaku tradisi keagamaan.
5. Menunda pertanyaan tentang
kebenaran, dalam hal ini untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam
suatu pengalaman keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi
langsung untuk memperoleh empati pemahaman yang asli.
6. Terakhir mengembangkan struktur
esensial dan makna sebuah pengalaman keagamaan.
Kritik Terhadap Pendekatan Fenomenologi
Pendekatan
Fenomenologi adalah mengungkapkan atau mendeskripsikan makna sebagaimana yang
ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya fenomenologi dapat
mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada pengertiannya yang
lebih luas.
Dengan
demikian, “fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai
salah satu aliran alam filsafat dan sumbangannya terhadap studi agama sebagai
salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat peneliti
(terdahulu) yang telah menerapkan metodologi fenomenologi dalam penelitian
tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana
sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentuk simbol- seperti bentuk-bentuk upacara keagamaan- sebagai
fokus perhatiannya.
Mungkin yang
paling relevan dalam hubungannya dengan penelitian agama Islam dalam perspektif
ilmu budaya adalah acuan ketiga, yaitu penerapan metode fenomenologi secara
lebih luas. Metode ini bisa diterapkan dalam menelaah (meneliti) ajaran-ajaran,
kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol
keagamaan.
Dengan
mengacu pada tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi maka
langkah-langkah penelitian yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan.
1.
Deskripsi tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai
bentuk ekspresi keagamaan yang bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2.
Deskripsi tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya
dalam hubungannya dengan bentuk ekspresi kebudayaan.
3.
Deskripsi tentang perilaku keagamaan, berupa;
a.
Deskripsi ontologis
Deksirpsi ini memusatkan
perhatiannya pada “objek” kegiatan keagamaan. Objek ini dapat berupa Tuhan,
“Yang Suci” atau “Yang Gaib”, “Kekuasaan” dan sebagainya.
b.
Deskripsi psikologis
Perhatian diletakkan pada
kegiatan keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya, Malinowski, misalnya,
menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu dalam masyarakat.
c.
Deskripsi Dialektik
Apa yang memperoleh perhatian
di sini adalah hubungan antara subjek dan objek dalam kegiatan keagamaan. Bisa
menentukan diri pada pengalaman keagamaan, bisa juga memfokuskan diri pada peran
simbol-simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi manusia dalam “mengalami”
dunianya.
Terlepas dari beberapa kelebihan pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa
kesulitan untuk memahami esensi dari suatu pengalaman keagamaan dan
manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap fenomenologi agama
diantaranya:
Pertama, peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim pendekatannya
deskriptif murni yang resisten terhadap campur tangan peneliti, namun tidak
mustahil seorang fenomenolog memiliki kepentingan maksud-maksud tertentu dan
dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini kurang tepat
jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
Kedua, melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar historisnya.
Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena keagamaan dalam
isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam menentukan relevansi
fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya seringkali
fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan fenomena-fenomena
keagamaan yang dikaji.
Ketiga, peranan intuisi. Kesulitan peneliti dalam hal ini adalah
menentukan sisi yang benar dan dapat diterima. Term “objektif” dan “intuisi”
adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan data-data yang
bersifat intuitif untuk diverifikasi dalam wilayah objektif.
Ketiga, persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya konversi agama
karena tuntutan untuk berpartisipasi langsung dalam praktek dan ritual
keagamaan.
F. Pendekatan
Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal
dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah.
Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta mengartikan
filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
sebab-sebab, asas-asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang ada di alam
semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.Pengertian
filsafat yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi Gazalba.
Menurutnya filsafat adalah berpikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.
Dari definisi tersebut dapat diketahui
bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah
mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu
yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.
Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek pulpen dengan kualitas dan harganya
yang berlain-lainan namun inti semua pulpen itu adalah sebagai alat tulis.
Ketika disebut alat tulis, maka tercakuplah semua nama dan jenis pulpen.
Berpikir secara filosofis tersebut
selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar
hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami
secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak
dilakukan oleh para ahli. Kita misalnya membaca buku berjudul Hikmah
al-Tasyri’ wa Falsafatuhu yang ditulis oleh Muhammad Jurjawi. Dalam buku
tersebut Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik
ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran agama misalnya mengajarkan agar melaksanakan
shalat berjamaah. Tujuannya antara lain agar seseorang merasakan hikmahnya
hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan mengerjakan puasa misalnya
agar seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya menimbulkan rasa iba
kepada sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian pula ibadah haji yang
dilaksanakan di kota Makkah, dalam waktu yang bersamaan, dengan bentuk dan
gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan lainnya
dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasa bersaudara
dengan sesama Muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan mengandung
makna bahwa hidup penuh dengan dinamika yang tak kenal lelah, namun semuanya
itu harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata. Mengerjakan sa’i,
yakni lari-lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh putus asa, terus
mencoba. Dimulai dari bukit shafa yang artinya bersih dan berakhir pada
bukit marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian hidup ini harus diisi
dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih sehingga
dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu wukuf di Arafah maksudnya adalah
saling mengenal, yakni dapat mengenal siapa dirinya, mengenal Tuhannya, dan
mengenal sesama saudaranya berbagai belahan dunia. Demikian pula melontar jamarat
dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat-sifat negatif yang ada dalam
dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat yang positif dan mengenakan pakaian
serba putih maksudnya adalah agar seseorang mengutamakan kesederhanaan,
kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak terganggu hubungannya
dengan Tuhan.
Karena demikian pentingnya pendekatan
filosofis ini, maka kita menjumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk
memahami berbagai bidang lainnya selain agama. Kita misalnya membaca adanya
filsafat hukum Islam, sejarah, kebudayaan, ekonomi dan lain sebagainya.
Kritik Terhadap Pendekatan Filsafat
Melalui pendekatan filosofis ini,
seseorang seringkali terjebak pada pengamalan agama yang bersifat substansi semata, hanya
meyakini kebenaran agama dalam hati, tetapi tidak diikuti dengan pelaksanaan
ibadah formal. Pengamalan agama yang mereka terapkan hanyalah bersifat hakikat.
Misalnya sudah tidak lagi tertarik melaksanakan ibadah haji, puasa zakat, dan
ibadah-ibadah formal lainnnya.
Namun demikian, pendekatan filosofis
ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang
bersifat formal. Filsafat mempelajari segi batin yang bersifat esoterik,
sedangkan bentuk (forma) memfokuskan segi lahiriah yang bersifat
eksoterik.
Islam sebagai agama yang banyak
menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat
memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya, yang
contoh-contohnya telah dikemukakan di atas. Namun, pendekatan seperti ini masih
belum diterima secara merata terutama oleh kaum tradisionalis formalistis yang
cenderung memahami agama terbatas pada ketetapan melaksanakan aturan-aturan
formalistik dari pengalaman agama.
G. Pendekatan
Historis
Pendekatan historis adalah suatu ilmu
yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat,
waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu
ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi,
di mana, apa sebabnya, siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Sedangkan
menurut The Wold Book Encyclopedia International, historis memiliki
makna;
“History is the study of the human past. Historians study
records of past events and prepare new records based on their research. These
records, as well as the events themselves, are also commonly called history.”
Sedangkan menurut Azyumardi Azra,
sejarah dari kata Arab syajarah yang berarti pohon. Pengambilan istilah
ini agaknya berkaitan dengan kenyataan, bahwa sejarah- setidaknya dalam
pandangan orang pertama yang menggunakan kata ini- menyangkut tentang antara
lain, syajarah al-nasâb, pohon genealogis yang dalam masa
sekarang agaknya bisa disebut sejarah keluarga (family history). Atau
boleh jadi juga karena kata kerja syajarah juga punya arti to happen,
to occur, dan to develop. Namun selanjutnya, sejarah dipahami
mempunyai makna yang sama dengan târikh (Arab), istoria
(Yunani), history atau geschichte (Jerman), yang secara sederhana
berarti kejadian-kejadian menyangkut manusia pada masa silam.
Melalui pendekatan sejarah seseorang
diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia.
Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan
antara yang terdapat dalam alam idealis dengan yang ada di amal empiris dan
historis.
Pendekatan kesejarahan ini amat
dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi
yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam
hubungan ini, Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama
yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari
al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan
al-Qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep
dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi
konsep-konsep kita mendapati banyak sekali istilah al-Qur’an yang merujuk
kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik,
aturan-aturan legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah
atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep-konsep
yang telah dikenal oleh masyarakat Arab pada waktu al-Qur’an diturunkan atau
bisa jadi merupakan istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya
konsep-konsep religius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah
itu kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia al-Qur’an, dan dengan
demikian lalu menjadi konsep-konsep otentik.
Dalam bagian pertama ini kita mengenal
sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah,
malaikat, akhirat, ma’ruf, munkar, dan sebagainya adalah konsep-konsep yang
abstrak. Sementara itu, juga ditunjukkan konsep-konsep yang lebih menunjuk
kepada fenomena konkret dan dapat diamati (observable), misalnya konsep
tentang fuqara (orang-orang fakir), dhu’afa (orang lemah), mustadl’afin
(kelas tertindas), zhalimun (para tiran), aghniya (orang kaya), mustakbirun
(penguasa), mufasidun (koruptor-koruptor), dan sebagainya.
Selanjutnya, jika pada bagian yang
berisi konsep-konsep al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif
mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kisah-kisah dan
perumpamaan, al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh
hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa
historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia
diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisi
ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis
ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya, simbol tentang rapuhnya rumah
laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Allah SWT atau tentang
keganasan samudera yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.
Melalui pendekatan sejarah ini
seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama
keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan
orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara benar
misalnya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya al-Qur’an atau
kejadian-kejadian yang mengiringi turunnya al-Qur’an yang selanjutnya disebut
sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunnya ayat
al-Qur’an) yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat al-Qur’an. Dengan
ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang
terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan
untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.
Kritik atas Studi Orientalis Terhadap Sejarah
Teks al-Quran
Salah satu kajian utama orientalis
terhadap al-Quran adalah mengenai sejarahnya. Dan salah satu tokoh orientalis
yang melakukannya adalah Arthur Jeffery. Menurutnya tidak ada yang istimewa
dalam sejarah al-Quran karena sama saja dengan sejarah kitab-kitab suci yang
lain. Ia mengatakan, “it was the community which decided this matter of
what was and what was not scripture”. Komunitaslah yang sangat berperan
terhadap kesucian sebuah kitab suci. Dan fenomena semacam ini terjadi dalam
setiap agama termasuk Islam.
Pandangan seperti ini jelas keliru
karena al-Quran ternyata tidak hanya dianggap istimewa oleh umat islam saja
tapi juga oleh komunitas ilmuwan yang secara jujur mengakui ketepatan
konsep-konsep ilmiah dalam al-Quran yang baru terbukti 14 abad kemudian.
Kesalahan Pemahaman Orientalis terhadap Proses Turunnya
Wahyu
Nabi Muhammad bukanlah satu-satunya
nabi yang menerima wahyu, tapi semua nabi telah menerimanya. Dan wahyu itu
berasal dari satu sumber (Allah). Kebanyakan orientalis tidak mau berusaha
untuk meragukan atau mengkritik wahyu yang turun kepada Nabi Isa (sebagaimana
mereka melakukan terhadap Nabi Muhammad). Tetapi mereka menjaganya dan
berpendapat bahwa wahyu untuk Isa tidak mungkin diperdebatkan lagi dengan
metode ilmiah. Dalam waktu bersamaan mereka mengkritik wahyu Muhammad secara
rasio dan ilmiah.
Seharusnya teori kritik atas wahyu tersebut harus dilakukan terhadap semua wahyu
yang bersumber dari Tuhan.
Benar-benar sebuah sikap mendua yang tidak layak dilakukan oleh orang yang
mengaku ilmiah.
Kalau diteliti dengan seksama,
kesalahan pemahaman orientalis terhadap al-Quran diawali dengan kekeliruannya
dalam memahami proses turunnya wahyu. Menurut mereka, ketika Nabi Muhammad
menerima wahyu, terdapat tanda-tanda fisik yang sama dengan orang yang
menderita penyakit epilepsi dimana kesadaran telah hilang dan masuk ke alam
tidak sadar (ghaib). Diantara tanda-tanda fisik itu, sebagaimana dijelaskan
dalam hadits, adalah keluarnya keringat dari sekujur tubuhnya, muka yang pucat,
dan suara gaung yang mengiringi proses penerimaan wahyu.
Kemudian setelah Nabi sadar, ia menceritakan
kepada para sahabatnya bahwa ia baru saja menerima wahyu. Pemahaman seperti ini
jelas salah karena orang yang terkena penyakit seperti itu pasti tidak ingat
sama sekali apa yang dialaminya. Ingatan dan fikirannya tidak berfungsi sama
sekali ketika mengalami hal itu. Kondisi seperti ini sama sekali tidak terjadi
kepada Rasulullah. Karena ketika menerima wahyu, Rasulullah dengan penuh
kesadaran mengetahuinya. Panca indranya berfungsi dengan sempurna. Sehingga
mampu menceritakan secara terperinci apa saja yang baru dialami.
Dan wahyu itu sendiri tidak selalu
berkaitan dengan hal yang ghaib tapi juga sering turun dalam keadaan nabi yang
sepenuhnya sadar sebagaimana peristiwa-peristiwa normal. Sementara itu, mereka
juga berpendapat bahwa wahyu itu datang dari dalam diri nabi sendiri. Mereka
menyebutnya sebagai al-wahyu annafsiy (intuisi). Pendapat ini jelas
tidak ilmiah karena dalam waktu bersamaan mereka juga menganggap wahyu sebagai
sesuatu yang datang dari alam ghaib yang menyebabkan Nabi tidak sadar ketika
menerimanya seperti dijelaskan di atas.
Tafsiran orientalis terhadap wahyu
seperti di atas tidak sesuai dengan hakekat wahyu itu sendiri. Mereka
mengistilahkan wahyu sebagai al-wahyu annafsiy (intuisi) yang
berasal dari dalam manusia. Hal ini jelas berbeda dengan wahyu Tuhan (dalam
konsep Islam). Contoh kasus: jika wahyu itu berupa perbuatan (fi’il) pembeda,
maka wahyu itu berasal dari dzat yang mengerjakan yang menginginkan sesuatu.
Dialah Allah. Dan bukan intuisi, karena intuisi kembali kepada tabiat yang
terjadi dalam sebuah realitas. Sehingga memerlukan pemikiran untuk menyimpulkan
yang akhirnya menimbulkan keraguan atau keyakinan. Sementara wahyu tidak tunduk
kepada realitas dan rasio. Ia bisa diyakini secara mutlak tanpa ada ruang
keraguan di dalamnya. Sumber ilham/intuisi adalah batin manusia yang sangat
dipengaruhi oleh pengalaman pribadi sementara wahyu bersumber dari luar yang
tidak dipengaruhi oleh dirinya sendiri.
H. Pendekatan
Politis
Kata politik berasal dari kata politic
(Inggris) yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata
asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent.
Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan bahasa Yunani (Greek) politicos
yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal
dari kata polis yang bermakna city (kota).
Politic kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti,
yaitu: segala urusan tindakan, kebijaksanaan, dan siasat- mengenai pemerintahan
suatu negara atau terhadap negara lain, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi
sebuah disiplin pengetahuan yaitu politik.
Menurut Deliar Noer, politik adalah segala aktivitas atau sikap yang
berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan
jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.
Dalam al-Qur’an surat al-Nisa ayat 156
terdapat perintah menaati ulil amri yang terjemahannya termasuk penguasa di
bidang politik, pemerintahan dan negara. Dalam hal ini Islam tidak mengajarkan
ketaatan buta terhadap pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu
ketaatan yang didasarkan pada tolok ukur kebenaran dari Tuhan. Jika pemimpin
tersebut berpegang teguh pada tuntutan Allah dan rasul-Nya maka wajib ditaati.
Sebaliknya, jika pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan
rasul-Nya, boleh dikritik atau diberi saran agar kembali ke jalan yang benar
dengan cara-cara yang persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak dihiraukan
oleh pimpinan tersebut, boleh saja untuk tidak dipatuhi.
Masalah politik ini selanjutnya
berhubungan dengan perdebatan hubungan agama dan negara, mengalami pedebatan
yang cukup panjang dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan dengan hal
tersebut maka pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara
dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik,
sekularistik, dan simbiotik.
1.
Paradigma
Integralistik
Paradigma integralistik mengajukan
konsep bersatunya agama dan negara. Agama dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated).
Dalam konteks Islam, Islam adalah din wa dawlah. Apa yang merupakan
wilayah agama otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Model ini
menyimpulakan bahwa negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus,
yang antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan.
Pandangan ini berkeyakinan bahwa Islam
diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat (kafah). Islam
telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan.
Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup
cara hidup yang komprehensif, bahkan sebagian kalangan menekankan bahwa
Islam merupakan totalitas yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah
kehidupan.
Menurut pemikiran tokoh-tokoh ikhwan
muslimin, Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang
meliputi tidak saja tuntutan moral dan peribadatan, tetapi juga
petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, temasuk
kehidupan politik, ekonomi dan sosial. Oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan
dan kemakmuran, ummat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan
lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mencontoh
pola hidup Rasul dan ummat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan
jangan meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial Barat.
2.
Paradigma
Sekularistik
Paradigma sekularistik] (agama terpisah dari negara),
beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan negara
merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidang
masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan.
Pandangan ini berangkat dari pemikiran
bahwa al-Qur’an tidak memiliki sistem politik yang baku dan Muhammad tidak
dimaksudkan oleh Allah untuk menciptakan kekuasaan politik. Tugas Muhammad
hanyalah sebagai penyampai wahyu tanpa memiliki pretensi untuk mendirikan
negara.Pemrakarsa
paradigma ini adalah Mushtafa Kemal Attaturk (1881-1938), ‘Ali Abd. Al-Raziq
(1888-1966 M), seorang cendikiawan muslim dari Mesir. Tokoh lain yang mengikuti
pendapat ini adalah Taha Husein (1889-1973), Ahmad Lutfi Sayyid (1872-1963),
kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Said al-Asmawi (Mesir, lahir 1932).
Menurut Ali Abd Raziq, pemerintahan
Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulan, melainkan tugas terpisah dari
dakwah Islam dan berada di luar tugas kerasulan. Alasanya,
bahwa Nabi Muhammad Saw memang telah mendirikan negara di Madinah, akan tetapi
sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh
Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi
pemerintahan lain, misalnya masalah keuangan, wawasan, dan keamanan jiwa, dan
harta.
3.
Paradigma
Simbiotik
Di antara dua kutub di atas, pemikiran
ketiga menyatakan bahwa Islam memang tidak menyediakan sistem politik yang baku
untuk diterapkan oleh umat Islam, akan tetapi Islam juga tidak membiarkan
umatnya tanpa pedoman dalam bernegara dan mengatur pemerintahan. Islam
hanya memberikan seperangkat nilai saja yang mesti dikembangkan oleh umatnya
sesuai dengan tuntutan situasi, masa dan tempat serta permasalahan yang mereka
hadapi. Karenanya, Islam tidak melarang umatnya mengadopsi pemikiran-pemikiran
dari luar, termasuk dari Barat, sejauh tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Islam, umpamanya, tidak
menolak pemikiran tentang hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara atau
tentang prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena itu, paham ini menolak
klaim ekstrim bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan
termasuk politik, tetapi juga menolak klaim ekstrim kedua yang melihat bahwa
Islam tidak ada kaitannya dengan politik. Menurut tipologi ini, kendati Islam
tidak menunjukkan preferensinya pada sistem politik tertentu, tetapi dalam
Islam terdapat prinsip-prinsip moral atau etika bagi kehidupan bernegara, yang
untuk pelaksanaannya Umat Islam bebas memilih sistem manapun yang terbaik.
Paham ini memahami bahwa agama dan
negara adalah saling membutuhkan artinya memiliki hubungan timbal balik,
perbedaannya dengan aliran integralistik adalah bahwa agama dan negara suatu
etnisitas yang berbeda, namun saling membutuhkan, bukannya menyatu seperti yang
dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut kalangan-kalangan
ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Jamaludin
Al-Afghani, Muhammad
Abduh, dan
lain-lain.
I.
Pendekatan
Psikologis
Psikologi berasal dari dua kata Yunani,
yaitu psyche dan logos. Mengenai kata logos, kiranya sudah
banyak orang tahu bahwa artinya adalah nalar, logika, atau ilmu. Karena itu
psikologi berarti psyche. Tetapi apakah psyche itu? Nah, di
sinilah terdapat perbedaan pendapat yang berlarut-larut itu. Kalau kita periksa
Oxford Dictionary misalnya, kita akan melihat bahwa istilah psyche
mempunyai banyak arti dalam bahasa Inggris yaitu soul, mind, dan spirit.
Dalam bahasa Indonesia ketiga kata-kata bahasa Inggris itu dapat dicakup dalam
satu kata yaitu “jiwa”. Karena itulah dalam bahasa Indonesia kebanyakan orang
cenderung mengartikan psikologi sebagai ilmu jiwa. Tetapi kecendrungan ini
tidak terdapat dalam bahasa Indonesia saja. Kalau kita periksa dalam bahasa
Belanda misalnya, maka psikologi diartikan sebagai zielkunde, dalam
bahasa Jerman seelenkunde, dalam bahasa Arab ilmun nafsi, yang
semuanya itu tak lain artinya ilmu jiwa.
Menurut Zakiah Daradjat, perilaku
seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang
dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada
kedua orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran,
dan sebagainya merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui
ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan Zakiah Daradjat,
tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut seseorang,
melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat
pengaruhnya dalam perilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai
istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya sikap
beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat
baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan
yang berkaitan dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain
akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan
seseorang- juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama ke dalam
jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama akan
menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkannya.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh
dari shalat, puasa, zakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa.
Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih
efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. itulah sebabnya ilmu jiwa ini
banyak digunakan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan
seseorang.
Kritik Terhadap Pendekatan Psikologi Barat
Para ilmuwan Muslim terdahulu
sesungguhnya memiliki andil yang sangat besar dalam mengembangkan kajian
tentang kejiwaan. Ironisnya, peranan mereka dalam memajukan dan mengembangkan
ilmu kejiwaan (psikologi) tersebut tidak mendapatkan perhatian yang selayaknya
dari para pakar sejarah psikologi modern sepanjang sejarah. Umumnya, mereka
yang berasal dari Barat memulai kajian psikologi pada kaum pemikir Yunani,
terutama Plato dan Aristoteles. Selanjutnya, mereka langsung membahas pemikiran
kejiwaan para pemikir Eropa Abad Pertengahan dan masa Kebangkitan (Renaisans)
Eropa Modern. Mereka benar-benar melupakan andil para ilmuwan Muslim yang
diantaranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak mempengaruhi
pendapat para pemikir Eropa Abad Pertengahan hingga awal masa Renaisans Eropa
Modern sendiri.
Yang lebih menyedihkan lagi, sikap para
sejarawan psikologi dari Barat tersebut justru diikuti oleh para pakar
psikologi Arab kontemporer. Mereka yang mempelajari berbagai manuskrip sejarah
psikologi di banyak universitas sama sekali tidak melirik peranan para ilmuwan
Muslim. Penghargaan terhadap andil mereka justru datang para sejarawan filsafat
Islam, baik yang berasal dari bangsa Arab sendiri maupun non-Arab. Mereka
menginformasikan kepada kita sejumlah ikhtisar (re-sume) yang bermanfaat
tentang pandangan para ilmuwan Muslim terdahulu dalam bidang psikologi. Kendati
nilainya sangat penting, namun ikhtisar tersebut tidak cukup menarik para
psikolog Islam kontemporer untuk mendalami pandangan kejiwaan ilmuwan Muslim
terdahulu, yang memungkinkan mereka memberikan penilaian ilmiah terhadap andil
mereka dalam memajukan dan mengembangkan psikologi sepanjang sejarah.[56]
Salah satu filosof Islam yang mempunyai perhatian yang luar
biasa terhadap konsep-konsep jiwa dan bagaimana mengatasi problem kejiwaan
adalah Ibn Sina. Dengan ketajaman pikiran dan ketelitian pengamatannya, dapat
mencapai pengetahuan tentang hukum proses conditioning sebelum hal itu
ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang psikolog berkebangsaan Rusia. Ibnu Sina
juga dapat memberikan interpretasi ilmiah tentang lupa, dengan mengembalikannya
kepada intervensi berbagai informasi yang belum pernah dicapai para psikologi
modern, kecuali pada perempat pertama abad ke-20. Selain itu, Ibnu Sina juga
mendahului para ahli fisiologi dan psikolog modern dalam mengukur emosi
berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologi dan psikolog modern dalam
mengukur emosi berdasarkan pengukuran berbagai perubahan fisiologis yang
terjadi setelah terjadinya proses emosi.
Berikutnya, pada kasus penyembuhan
orang sakit yang diakibatkan oleh rasa rindu, Ibnu Sina berusaha mengetahui
nama gadis yang dirindukan si klien, sehingga dia dapat memberikan metode counseling
yang tepat. Ibnu Sina menemukan sebuah metode yang unik, yaitu dengan
menyebutkan kepada si klien sejumlah nama negeri, seseorang yang hidup dan
gadis-gadis. Pada saat itu, dia mengukur kecepatan detak jantung si klien untuk
mengetahui kadar emosi yang ditumbulkan oleh nama-nama itu. Dengan cara itu,
Ibnu Sina dapat mengetahui nama gadis yang dirindukan si klien dan tempat
hidupnya.
Metode yang digunakan Ibnu Sina ini
dianggap sebagai dasar awal bagi penemuan alat modern yang terkenal dengan
sebutan alat respon kulit galvanisasi atau juga yang disebut alat pendeteksi
kebohongan, lantaran banyak digunakan untuk mengungkapkan berbagai tindak
kejahatan. Yaitu, suatu alat yang mengukur ketidakstabilan emosi berdasarkan
pengaruhnya terhadap perubahan fisiologis tubuh. Selain itu, sesungguhnya Ibnu
Sina-dengan metode sederhana yang dia gunakan untuk mengetahui sebab-sebab
ketidakstabilan emosi melalui penyebutan serangkaian kata-kata dan nama serta
mengamati pengaruhnya terhadap emosi individu- telah mengungguli sebagian ahli psikoanalisis
dan prikiater modern yang menggunakan cara yang sama, yaitu metode asosiasi
untuk mengetahui sebab-sebab ketidakstabilan emosi pada klien mereka.
Tidak hanya itu, dalam mengkaji mimpi
pun al-Farabi dan Ibnu Sina menemukan fakta ilmiah yang membuat mereka unggul
atas ilmuwan modern, terutama peran mimpi dalam memuaskan dorongan dan hasrat
sebagaimana pendapat Sigmund Freud pada masa modern.[59]
Namun demikian, bagaimana argumentasi dan dasar-dasar yang digunakan Ibnu Sina
berkaitan dengan konsep jiwa serta perbedaan mendasar konsep jiwa yang
dikemukakan Ibnu Sina dengan berbagai konsep jiwa yang pernah ada sebelumnya
serta letak keunggulan dan kelemahan konsep jiwa yang ditawarkan Ibnu Sina ini,
selanjutnya merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban.
J.
Pendekatan
Interdisipliner
Pendekatan interdisipliner memusatkan
perhatian pada masalah-masalah sosial yang dapat didekati dari berbagai
disiplin keilmuan sosial. Yang menjadi titik tolak pembelajaran biasanya konsep
atau generalisasi yang berdimensi jarak atau masalah sosial yang menyangkut
atau menuntut pemecahan masalah dari berbagai bidang keilmuan sosial.
Pendekatan interdisipliner disebut juga
pendekatan terpadu atau integrated approach atau istilah yang
digunakan Wesley dan Wronsky adalah “corelation” untuk pendekatan antar ilmu,
dan “integration” untuk pendekatan terpadu.
Dalam pendekatan interdisipliner
konsep-konsep dari berbagai ilmu sosial atau bidang studi telah terpadu sebagai
suatu kesatuan sehingga bahannya diintegrasikan menurut kepentingan dan tidak
lagi menurut urutan konsep masing-masing ilmu atau bidang studi.
Pendekatan interdisliner yang dimaksud
disini adalah kajian dengan menggunakan sejumlah pendekatan atau sudut pandang
(perspektif). Dalam studi misalnya menggunakan pendekatan sosiologis,
historis dan normatif secara bersamaan. Pentingnya penggunaan pendekatan ini
semakin disadari keterbatasan dari hasil-hasil penelitian yang hanya
menggunakan satu pendekatan tertentu. Misalnya, dalam mengkaji teks agama,
seperti Al-Qur’an dan sunnah Nabi tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan
tekstual, tetapi harus dilengkapi dengan pendekatan sosiologis dan historis
sekaligus, bahkan masih perlu ditambah dengan pendekatan-pendekatan lainnya.
Sarjana klasik Islam yang menggunakan
pendekatan ini di antaranya adalah Ibn Khaldun yang terekam dalam karyanya al-Mukaddimah,
Ibn Khaldun tidak sekadar menarasikan kejadian-kejadian masa lampau, apalagi
membatasinya pada peristiwa-peristiwa politik. Lebih jauh, untuk menjelaskan
kejadian-kejadian pada masal silam, ia tidak menggunakan ilmu sejarah per se,
tetapi juga ilmu-ilmu lain, termasuk: geografi, antropologi, etnologi,
filologi, astronomi, dan meteorologi, ekonomi dan politik, kebudayaan, logika,
filsafat, agama, sosiologi, sastra, dan banyak lagi. Bahkan, dalam analisisnya tentang
tumbuh, bangkit, dan punahnya suatu kebudayaan, ia membangun kerangka teori
yang disebut sejarawan Annales sebagai “long-term structure” yang
membentuk, menentukan atau mempengaruhi perkembangan kebudayaan dan peradaban
manusia.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Studi mengenai Islam dan tentang
aspek-aspek keislaman dari kebudayaan masyarkat Islam, suatu distingsi harus
dibuat antara Islam normatif (preskripsi-preskripsi, norma-norma, dan
nilai-nilai yang termuat dalam petunjuk kitab suci) dan Islam aktual
(semua bentuk gerakan, praktek, dan gagasan yang pada kenyataannya eksis dalam
masyarakat Muslim dalam waktu dan tempat yang berbeda-beda).
Studi normatif terhadap
Islam, yang umumnya dikerjakan kaum Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran
religius, meliputi studi-studi tafsir, hadits, fiqih, dan kalam. Kemudian studi
selanjutnya non-normatif terhadap aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim,
dalam pengertian yang lebih luas: meliputi telaah Islam dari sudut sejarah dan
sastra atau antropologi, sosiologi dan lain-lain.
B. Saran-Saran
Dari uraian tersebut kita melihat
ternyata semua agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan
pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog,
antropolog, sejarawan, ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai pada pemahaman
agama yang benar. Di sini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli
kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang
sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya. Dari keadaan
demikian seseorang akan memiliki kepuasan dari agama karena seluruh persoalan
hidupnya mendapat bimbingan dari agama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syamsuddin, Agama dan Masyarakat: Pendekatan
Sosiologi Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Abdullah, Taufik dan M. Rusli Karim (Ed.), Metodologi
Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Azhari, Tahir, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin
Ilmu Hukum,”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa,
2001.
Azra, Azyumardi, Islam Substantif: Agar Umat Tidak
Jadi Buih, Bandung: Mizan, Cet. 1, 2000.
---------,“Penelitian Non-Normatif tentang Islam:
Pemikiran Awal tentang Pendekatan Kajian Sejarah pada Fakultas Adab,” Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan antara Disiplin Ilmu, Bandung:
Pusjarlit, 1998.
Bakker, Anton, Metode-Metode Filsafat, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1984.
Bertens, K., Filsafat Barat Dalam Abad XX,
Jakarta: PT Gramedia, 1981.
Echols, John M., Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1979.
Edward Paul, (ed), The Encyclopaedia of Philosophy,
Vol. 5, New York: MacMilan Publishing Co., Inc and Free Press, 1972.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang,
1967.
Hammersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat, Jakarta:
PT. Gramedia, 1983.
Ismail, Achmad Satori, Sepuluh Pilar Dakwah di Era Globalisasi,
Jakarta: Mitra Grafika, 2003.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I,
Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996.
Magestari, Noerhadi, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung:
Pusjarlit, Cet. I, 1998.
Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjaun Disiplin
Sosiologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Nuansa, 2001.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998.
Najati,Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan
Filosof Muslim, Alih bahasa, Gazi Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
---------, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
Jakarta: PT RajaGrafindo, 2001.
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1972.
Noer, Deliar, Pengantar ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali,
1983.
Poerwadarminta, J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan
Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo, Cet. I, 1994.
Rahman, Fazlur, Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Cairo:
tp, Cet. 3, 1925
Salim, Abd. Muin, Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan
Politik dalam al-Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995.
Sarwono, Sarlito W., Berkenalan dengan Aliran-Aliran
dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: PT Bulan Bintang: 2000.
Suparlan, Parsudi,“Agama Islam: Tinjauan Disiplin
Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam; Tinjauan antar Disiplin
Ilmu,Bandung: Nuansa bekerja sama dengan
Pusjarlit, Cet. I, 1998.
Tata, Sukayat. Internalisasi Nilai Agama Melalui
Kebijakan Publik: Dakwah Struktural Bandung Agamis. Bandung: CV. Rieksa
Utama Jaya, Cet. 1, 2011.
The Wold Book Encyclopedia
International, Chicago, Illinois: World Book Inc, 1994.
Toumy, Omar Mohammad, Falsafah Pendidikan Islam,
Penerjemah. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fiqh Madhhab Negara: Kritik
Atas Politik Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: PT Lkis Pelangi Aksara,
2001